POSTMEDAN.
Pilkada serentak Secara demokrasi 9 Desember 2020 dalam pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar, sudah setahun lamanya berlalu. Namun, hingga sampai saat ini, Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih, pasangan Asner Silalahi (almarhum) dan Susanti Dewayani, tak kunjung dilantik. Ada apa ini ?
Pernyataan tersebut disampaikan Sekretaris Yayasan Gerakan Kebajikan Pancasila (GKP), Syaiful Amin Lubis ST yang juga selaku Penggiat Demokrasi kepada para awak media di Kota Pematangsiantar, Rabu (15/12/2021).
Dalam sudut pandang Syaiful Amin Lubis, semua proses dan mekanisme yang diperlukan oleh Kemendagri sudah dipenuhi, mulai dari DPRD Kota Pematangsiantar menggelar Rapat Paripurna pada 28 Januari 2021 dengan agenda pengusulan pengangkatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih berdasarkan salinan putusan KPU Kota Pematangsiantar No. 05/PL.02.7-Kpt/1272/KPU-Kot/1/2021 pada tanggal 21 Januari 2021 dengan hasil suara 87.733 suara atau 62,97% suara.
Selanjutnya, Mendagri sendiri telah mengeluarkan Surat Keputusan Mendagri No. 131.21-354-2021 pada tanggal 23 Pebruari 2021 tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota di Sumut yang menetapkan Susanti Dewayani sebagai Wakil Wali Kota Terpilih Kota Pematangsiantar.
“Lalu keluar Surat Mendagri melalui Dirjen Otda No. 131/.12/3649/Otda, khusus poin 8 huruf d tanggal 4 Juni 2021 ke Gubernur Sumut dengan tembusan DPRD Kota Pematangsiantar tentang perintah ke DPRD agar menggelar rapat paripurna mengusulkan pemberhentian Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar,” ujar Syaiful Amin Lubis.
Kemudian, DPRD Kota Pematangsiantar menggelar Rapat Paripurna pada 5 Oktober 2021 tentang usulan pemberhentian Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta pelantikan Susanti Dewayani.
“Terhadap hasil rapat paripurna tersebut, Gubernur Sumut pun menandatangani dan mengirimkan usulan Pelantikan Wakil Wali Kota Pematangsiantar terpilih Susanti Dewayani ke Kemendagri pada 7 Oktober 2021,” terang Syaiful Amin Lubis.
DESEMBER BELUM JUGA DILANTIK
Bulan Pebruari 2021 keluar pernyataan pers Menteri Dalam Negeri melalui Dirjen Otda, Akmal Malik yang menyatakan untuk 4 daerah lain yaitu Yalimo, Membrano, Muna dan Kota Pematangsiantar akan dilakukan pelantikan pada Juli atau September 2021, karena harus dikomunikasikan kembali.
“Sekarang sudah bulan Desember, dan memasuki akhir tahun 2021. Semua pihak yang berkompeten untuk memberikan kepastian terhadap hasil Pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar, belum juga menyampaikan sebuah ketetapan terhadap penjadwalan pelantikan Wakil Wali Kota Pematangsiantar,” kata Syaiful Amin Lubis, mantan Sekretaris DPD Partai Golkar Kota Pematangsiantar periode 2009-2015.
DIDUGA KEMENDAGRI SENGAJA MENGUNDUR-UNDUR PELANTIKAN
Tidak adanya ketetapan penjadwalan pelantikan Wakil Wali Kota Pematangsiantar, menurut Syaiful Amin Lubis, mengisyaratkan bahwa Kementerian Dalam Negeri Negeri terkesan menggantung Pelantikan Wakil Walikota Siantar terpilih tanpa alasan yang jelas, dan saya menduga kuat bahwa ada permainan disini.
Sementara kota Siantar seperti diketahui masuk dalam Agenda Pilkada serentak tahun 2020, dan seharusnya kota Siantar juga harus dilantik tahun 2021 ini. Perlu diketahui bahwa periodesasi kepala daerah yang 5 tahun tidaklah sama dengan Akhir Masa Jabatan (AMJ), ketika keluar SK perberhentian dari Mendagri maka itulah AMJ Kepala Daerah, sehingga oleh pembuat UU itu sdh diatur dengan kompensasi.
Pada pasal 202 poin 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang diubah dalam UU no. 10 thn. 2016 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali kota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 dan masa jabatannya kurang dari lima tahun karena pelaksanaan pemilihan serentak, maka diberikan kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
Jadi “makhluk” periodesasi dengan AMJ adalah sesuatu yang berbeda, kata Syaiful.
Inilah dasar Mendagri memberikan kompensasi bagi kepala daerah hasil pilkada tahun 2020 yang harus berakhir masa jabatannya pada tahun 2024 yang akan datang akibat Pilkada Serentak Nasional.
“Padahal tahapan dan ketentuan-ketentuan yang diminta pihak Kemendagri sudah terpenuhi, yaitu tadi bahwa Gubernur sudah mengirimkan usulan pelantikan Wakil Wali Kota Pematangsiantar. Tapi faktanya, Kemendagri tidak juga menjadwalkan waktu pelantikan, sehingga menimbulkan pendapat bahwa UU No 10 Tahun 2016 menjadi tidak memiliki kekuatan apa-apa terhadap hasil Pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar, yang sudah menghabiskan dana besar dan waktu yang panjang,” katanya
“Mendagri, kata Syaiful Amin Lubis, sebagai operator seharusnya Tegas dalam menyikapi permasalahan yang ada dalam UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang keluar setelah UU No. 23 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi UU No. 9 Tahun 2015,” sebutnya.
Ditambahkan salah satu Ketua Relawan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 (Jaringan Masyarakat Muslim Membangun), bahwa UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur secara khusus, bahwa kepala daerah bisa diberhentikan dengan kompensasi, menjadi acuan dilaksanakannya Pilkada serentak tahun 2020.
Berdasarkan adanya UU no. 10 thn. 2016 tersebut maka asas hukum lex specialis derogat legi generali berlaku. Artinya peraturan umum akan dikalahkan oleh peraturan khusus, keputusan dimaksud adalah UU setelahnya yang mengatur secara khusus kompensasi bagi kepala daerah yang belum habis masa jabatannya.
“Nah, kenapa Mendagri tidak melaksanakan amanah UU tersebut, terkhusus bagi hasil Pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar. Mendagri harus terbuka, dan transparan untuk menjelaskan, apa sebenarnya kendala yang membuat amanah UU itu tidak dapat dilaksanakan,” katanya.
PELANTIKAN TERTUNDA BERDAMPAK
Putra Siantarmen yang juga selaku mantan Sekretaris PD Al Washliyah Kota Pematangsiantar periode 2011-2019 ini menyampaikan, bahwa Mendagri seharusnya lebih memperhatikan dengan cermat terkait dengan dampak pelantikan Wakil Wali Kota Pematangsiantar yang tertunda atau ditunda tersebut.
“Kita lihat dari aspek politik dan pemerintahan, dimana kinerja pejabat Pemko yang tidak lagi bisa maksimal karena seluruh kebijakan strategis Pemko Pematangsiantar ikut tertunda,” katanya.
Apalagi kita tau selama ini roda Pemerintahan kota Pematangsiantar bagai Auto Pilot, tak ada satupun kebijakan yg berarti selama hampir 5 tahun Walikota Siantar Hefriansyah Noor menjabat.
Apa coba Legacy yang ditinggalkan Hefriansyah ? Tanya Syaiful.
Aspek sosiologisnya, terjadi ketidakadilan terhadap Kota Pemtangsiantar yang dirasakan oleh 62,97% pemilih pasangan pemenang pilkada dan bahkan masyarakat Kota Pematangsiantar yang mengikuti Pilkada serentak tahun 2020, dan pemenang Pilkada sendiri yang masa jabatannya di bawah 3 tahun.
“Aspek hukumnya, terjadi kesimpangsiuran hukum positif yang tak kunjung ada penyelesaian sehingga mencitrakan Kemendagri gamang dan bingung dalam menjalankan peraturan yang berlaku dan berakibat bisa menjadi yurisprudensi bagi periodesasi kepala daerah berikutnya,” kata Syaiful Amin Lubis.
GERAKAN ELEMEN MASYARAKAT MENEMUI JOKOWI LAYAK DIDUKUNG
Dalam hal ini Syaiful Lubis menyatakan sangat mendukung gerakan elemen masyarakat Pematangsiantar lintas etnik dan agama yang akan menemui Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara.
“Terhadap situasi saat ini, sejumlah elemen masyarakat lintas etnik dan agama akan melakukan gerakan untuk bertemu dengan Presiden. Gerakan tersebut, patut diapresiasi dan didukung, agar Presiden mengetahui situasi kekinian terkait hasil Pilkada Kota Pematangsiantar tahun 2020, dimana Wakil Wali Kota-nya belum juga dilantik,” katanya.
Syaiful menyampaikan, bahwa seluruh elemen masyarakat lintas etnik dan agama, patut meminta Presiden untuk mendesak Mendagri agar melaksanakan pelantikan Wakil Walikota Terpilih kota Pematangsiantar pada tahun 2021.
“Jika Wakil Wali Kota Pematangsiantar tidak dilantik juga hingga berakhir tahun 2021, maka dampaknya akan dipikul pada hasil Pilkada serentak tahun 2024. Harus kita ingat, bahwa kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2020 menandatangani SK tahun 2021-2026. Jika di Pilkada Kota Pematangsiantar tidak diberlakukan atau tidak dilaksanakan amanah UU No. 10 Tahun 2016, maka bisa jadi pada Pilkada Serentak 2024, seluruh kepala daerah produk Pilkada 2020 akan mengadopsi kasus Pematangsiantar,” pungkas sosok pria pencinta kopi itu.(FG/HG)